Ditinjau dari sejarah pemerintahan, ada beberapa catatan yang menjelaskan bahwa daerah Baruta telah memiliki pemerintahan sendiri, seperti yang dijelaskan Zahari dalam bukunya menjelaskan Kerajaan buton terdiri atas 72 bagian yang disebut “kadie“, yang kesemuanya lazim disebut “pitu pulu rua kadiena“ atau juga disebut dengan “pitu pulu rua kaomuna“.Setiap kadie punya sistem pemerintah sendiri. Organisasi ini dapat sangat berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya sesuai dengan perbedaan dalam cara terbentuknya komunitas tersebut, adat setempat, serta fungsi-fungsi khusus yang berlainan yang berhubungan dengan kesultanan sebagai keseluruhan. SyarahKadie atau syarah kampung bekerja menurut ketentuan khusus sepanjang tidak bertentangan dan keluar dari kadienya. Merekalah yang melaksanakan segala perintah dari syarah kerajaan melalui tunggu-tunggu (bonto dan bobato). Dalam hubungan ke pemerintahan dalam kadie, tunggu-tunggu tidak dapat langsung mencampuri urusan-urusan syarahkadie lain, jika syarah kampung masih mampu menyelesaikan sendiri persoalannya. (Tasrifin, 2007: 105).
Tugas seorang tunggu-tunggu adalah sebagai pengawas ketertiban dan keamanan tetapi tidak mencampuri urusan pemerintahan Kadie pimpinan Parabela masing-masing. Setelah tahun 1906 mulailah berlaku sistim pemerintahan penjajahan Belanda atas Kesultanan Buton dengan mengadakan kepala-kepala distrik dengan tugas utama penarikan pajak dari rakyat dan mengaktifkan para Bonto dan Bobato sebagai pimpinan Kadie (Kepala Kampung), sementara para Parabela berubah fungsi hanya sebagai wakil dari Bobato dan Bonto. Inilah titik awal rusaknya tatanan pemerintahan demokrasi dan kemurnian nilai-nilai budaya dalam kesultanan Buton.
Dari 72 bagian tersebut dibagi dalam dua bagian yaitu:
1. 30 kadie diduduki oleh bonto dalam hal ini Walaka;
2. 40 bagian diduduki oleh Bobato dalam hal ini bangsawan;
Sedangkan 2 bagian lainnya merupakan simbolis belaka pertanda 2 kaum yang memegang pimpinan pemerintahan yaitu kaum bangsawan dan kaum walaka.
Berikut Keanggotaan Kadie dalam Kesultanan Buton:
1. Bumbu
2. Lambelu
3. Pure
4. Koroni
5. Kamelanta
6. Taloki
7. Barangkatopa
8. Silea
9. Watumotobe
10. Tumada
11. Todanga
12. Wou
13. Lowu-lowu
14. Lea-lea
15. Kampeonaho
16. Liabuku
17. Lakologou
18. Wandailolo
19. Kokalukuna
20. Kaesabu
21. Galampa
22. Waruruma
23. Batulo
24. Kolagana
25. Katobengke
26. Kabereia
27. Komba-Komba
28. Kalamea
29. Gundu-gundu
30. Labalawa
31. Burukene
32. Tobe-Tobe
33. Wasambua
34. Busoa
35. Batauga
36. Laompo
37. Kambe-kambero
38. Bola
39. Siompu
40. Kadatua
41. Sampolawa
42. Burangasi
43. Lantongau
44. Laporo
45. Peropa
46. Wolowa
47. Kancodaa
48. Wasaga
49. Lapodi
50. Takimpo
51. Holimombo
52. Lasalimu
53. Ambuau
54. Kamaru
55. Lawele
56. Kumbewaha
57. Wasuamba
58. Toruku
59. Kalende
60. Boneoge
61. Lakudo
62. Bombonawulu
63. Watulea
64. Waaleale
65. Mone
66. Wajo
67. Lolibu
68. Baruta
69. Inulu
70. Wasindoli
71. Mawasangka
72. Wasilomata
(Zahari, 1981; 134-141)
Setelah pangka , jabatan-jabatan terpenting berikutnya dalam Sarana Wolio diisi oleh para kepala distrik ; setidak-tidaknya, begitulah pada 1938, saat pelantikan sultan terakhir. Semua bonto dan bobato diberi sebuah desa atau sebidang tanah (kadie) untuk diawasi. Kadang kala gelar laki dipakai, digabung dengan nama kadie sang botato, seperti dalam Lakina Lia (Penguasa Lia), Lakina Baruta (Penguasa Baruta). Menurut adat ada 7 kadie, dua diantaranya sesungguhnya mewakili kaomu dan walaka, yang hidup di pusat kesultanan. Berangsur-ansur sejumlah kadie, baru ditambahkan ; semula terdapat 30 bonto dan 40 bobsato di Dewan Wolio(schrool, 1983: 45). Bonto untuk gelar Walaka sedangkan Lakina untuk gelar Kaomu.
Secara resmi kesultanan terbagi dalam 72 kadie, atau masyarakat desa, yang mempunyai otonomi tertentu. Setiap kadie punya sistem pemerintah sendiri. Organisasi ini dapat sangat berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya sesuai dengan perbedaan dalam cara terbentuknya komunitas tersebut, adat setempat, serta fungsi-fungsi khusus yang berlainan yang berhubungan dengan kesultanan sebagai keseluruhan.(schrool, 1983: 59). Negeri Baruta yang terdiri dari Baruta Maradika dan Baruta Analalaki masing-masing diperintah oleh 1 orang Wati. Dari 70 bagian yang diduduki oleh Bonto dan Lakina tersebut kembali dibagi dalam 2 kelompok besar yang dinamakan “Pale Matanayo“ dan „pale Sukanayo“. Dari tiap pale itu diawasi dan dikepalai oleh Bontoogena menurut palenya masing-masing.
PALE MATANAYO
- Bontona Baluwu (Rongi, sempa-sempa, Tambunaloko, dan Kaindea (distrik Sampolawa) dan Kaoongke-ongkea (Distrik Pasarwajo) Nama Kesatuannya „Lapandewa“
- Bontona Barangkatopa (Tumembona, Wamoauna, Pobae, Watoduku (Distrik Kapontori). Nama Gabungannya „Lambusango)
- Bontona Wandailolo (Poleang)
- Bontona Silea (Kaweli, kalaka, dan Watumotobe (distrik Kapontori))
- Bontona Jawa Liabuku
- Bontona Waborobo
- Bontona Pada (Kadolo Katapi)
- Bontona Kancodaa (tidak mendapat daerah penugasan, tetapi bertugas sebagai kepala pertukaran dari Syarah Kerajaan )
- Bontona Dete; Lapodi (distrik Pasarwajo) dan Waha (distrik Tomia)
- Bontona Katapi Busoa (Distrik Batauga)
- Bontona Kalau (Toko)
- Bontona Kaberongalu Kabereia (distrik Bolio)
- Bontona Sombamarusu Rumbia (distrik Rumbia)
- Bontona Litao Tobea (distrik Kapontori )
- Bontona Galampa
- Bontona Gampinakaro Matanayo
- Lakina Tobe-tobe
- Lakina Kokalukuna
- Lakina Kaesabu
- Lakina Lea-lea
- Lakina Lowu-lowu
- Lakina Kambowa
- Lakina Holimombo
- Lakina Kondowa
- Lakina wasaga
- Lakina Lasalimu
- Lakina Kalende Singku dan Toruku
- Lakina Lawele Lapuli dan Lawele
- Lakina Kaluku Wapancana dan Tuangila
- Lakina Wou Wabalia
- Lakina Lakudo Kadolo, lawa, tangana lipu, tongkuno, gu, wongko lakudo dan wanepa-nepa
- Lakina Batauga
- Lakina Tumada Waungkani, Munto Kambero, Kowa-kowa, Latobungku (Distrik Kapontori)
- Lakina Bombonawulu (Bombona wulu kota, Rakia, Wakea-kea, uncume, wongko bombonawulu)
PALE SUKANAYO
- Bontona Peropa Wabula dan Wasuemba (distrik Sampolawa, Wurugana (distrik Batauga) dan Ballo (distrik Kabaena)
- Bontona Gundu-gundu KooE dan Kantolobea (distrik Mawasangka)
- Bontona Gama Lipu, Kaofe, kapoa, dan Banabungi (Pulau Kadatua) dan Wakoko (Pasarwajo)
- Bontona Siompu
- Bontona Rakia Wanambo dan Labuantae suku katobengke
- Bontona Lanto Lolibu
- Bontona Melai Wasambua (distrik Batauga) dan Boneoge
- Bontona Lantongau Katukobari (distrik Mawasangka dan Saumolowa (distrik sampolawa)
- Distrik Barangka
- Bontona Wajo
- Bontona Tanailandu
- Bontona Gampinakaro Sukanayo
- Lakina Kamaru
- Lakina wawoangi
- Lakina Todanga
- Lakina Bola
- Lakina Sampolawa
- Lakina Kambe-kambero
- Lakina Burukene
- Lakina Labalawa
- Lakina Lipumalanga
- Lakina Lambelu
- Lakina Koroni
- Lakina Takimpo
- Lakina Kumbewaha
- Lakina Taloki Wakalambe dan Bonemalei (distrik Kapontori)
- Lakina Kamelanta Batubanawa dan Kaniu-niu
- Lakina Boneoge (Boneoge, Madongka, Tanga dan Matanayo)
- Lakina Baruta (Baruta Maradika dan Baruta Analalaki)
- Lakina Mone Lambale dan Wakuru
- Lakina Lolibu Lipu Malanga II dan Tongkuno
- Lakina Lawela
- Lakina Inulu Lamena, lagili, dan wakengku
- Lakina Ambuau
- Lakina Laompo
(Zahari, 1980: 117-122)
Pada masa kesultanan Buton, dalam kadie Baruta hanya terdapat dua daerah yaitu Baruta Maradika dan Baruta Analalaki.Kadie Baruta mempunyai wilayah pemerintahan yang berbatasan dengan:
- Sebelah barat berbatasan dengan kadie Boneoge (Lawana Mbagulu)
- Sebelah utara berbatasan dengan kadie Bombonawulu (kaila)
- Sebelah timur berbatasan dengan selat Buton
- Sebelah selatan berbatasan dengan teluk Bau-bau (Kasakano koncu)
Untuk lebih jelasnya lihat gambar berikut
Gambar 6
Peta wilayah pemerintahan Kadie Baruta
Pembagian Kadie di Kesultanan Buton dilakukan tahun 1610 pada masa pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanuddin atau La Elangi.Tercatat luas wilayah Kadie Baruta adalah 5 km merentang dari selatan ke utara dan 7 km merentang dari arah timur ke barat atau sekitar 3500 Ha, dengan batas-batas menggunakan batas alam seperti tebing, bukit, sumber mata air, tepi laut, dll. Penentuan batas ini ditetapkan oleh pemerintahan kesultanan sendiri bukan pemerintahan yang ada di kadie. Tentu hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan penyebaran suku, luas wilayah, jumlah penduduk, dan sebagainya.
****
LAKINA BARUTA
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa untuk menghubungkan pusat kesultanan dengan kadie-kadie, maka sultan menempatkan seorang lakina di tiap kadie yang bertugas sebagai pengawas ketertiban dan keamanan sekaligus pengumpul pajak dari masyarakat. Beberapa orang yang pernah menjabat sebagai Lakina Baruta adalah:
- Lakina Baruta I bernama Kapitalao Menurut penulis, yang dimaksud dengan Kapitalao disini bernama La Ode Sugimanuru, karena dalam bukunya A.M. Zahari (1977: 274) menjelaskan bahwa Sultan Sakiyuddin atau Hamiymu (Ipar dari La Karambau) memerintah tahun `1752 – 1759 sultan kedua puluh satu meninggalkan beberapa anak antara lain : Kapitalao Baruta La Ode Sugimanuru, Kapitalao Wolowa La Ode Puntimasa, Wa Ode Pau, dan Wa Ode Zamrud Oputa Balu I Lawalangke (istri La Karambau)
- Lakina Baruta II bernamaLa Ode Saydju
- Lakina Baruta III bernama La Ode Dongu asal Wameo
- Lakina Baruta IV bernama La Ode Ja’far asal Labunta
- Lakina Baruta V bernama La Ode Rahman asal Nganganaumala
- Lakina Baruta VI bernama La Ode Taalo berasal dari Munara
- Lakina Baruta VII bernama La Ode Neu berasal dari Wameo (1...... – 1912)
- Lakina Baruta VIII bernama La Ode Sadjarah Munta atau La Ode Daa berasal dari Kapolangku. (1912 – 1960)
(Sumber Tertulis dari La Rahali Alm.)
Dari kedelapan Lakina yang pernah mengemban tugas di kadie Baruta hanya Lakina Baruta VIII (La Ode Daa) yang menetap dan berkeluarga di Baruta dengan menikahi gadis Baruta bernama Wa Emba dan memiliki empat orang anak yakni, La Ode Habaari, La Ode Muunu, Wa Ode Bee (taata), dan La Ode Amiimi.
Setelah diaktifkan kembali Lembaga Adat Kesultanan Buton maka sejak Tanggal 25 Mei 2012 maka dilantiklah Sultan Buton yang Ke-39 Bernama La Ode Muhamad Jafar, SH. Dengan itu maka seluruh perangkat pemerintahan kesultanan Buton juga kembali dibentuk, dan yang ditunjuk sebagai Lakina Baruta Ke-9 bernama La Ode Amimi (anak bungsu dari Lakina Baruta Ke-8, La Ode Daa)
Gambar 7. La Ode Amiimi (Lakina Baruta Ke-9)
WETI ATAU PAJAK
Weti adalah pajak yang ada dalam kesultanan buton. Terdapat beberapa macam Weti, yaitu:
- Jawana adalah pembayaran wajib rakyat yang dipergunakan untuk biaya perjalanan perutusan kerajaan “tao-tao” ke Jakarta
- Jupandana adalah biaya perjalanan perutusan kesultanan ke Ujung Pandang (Makassar)
- Weti Miana adalah utusan kadie ke ibukota kerajaan sebagai pekerja dalam keratin dan juga sebagai petugas jaga pada masing-masing pembesar dan pada pintu-pintu gerbang benteng
- Kantaburakana adalah pemberian untuk tunggu dan Bontoogena dari rakyat kadie
- Sandatana adalah persediaan untuk perutusan syarah apabila berada di kadie
- Kalongana dan bantena adalah pemberian untuk Bontoogena dan juga dapat terjadi sebagai persembahan kepada Sultan dan Sapati
- Karandana dan Kabutuna juga merupakan pemberian untuk Bontoogena
Keterangan tentang uang yang berlaku dalam kerajaan asal mata uang kompeni Belanda:
- 1 boka = 120 sen atau Rp. 1.20
- 1 suku = 30 sen
- 1 se = 10 sen
- 1 uwa = 5 sen
Kadie harus membayar pajak (weti) tahunan kepada pusat kesultanan. Untuk setiap kadie ditetapkan jumlah tertentu yang sangat berbeda-beda. Sistem perhitungan sumbangan pajak tahunan jelas berkembang selama bertahun-tahun lalu, dan berhubungan dengan berbagai pengeluaran kesultanan. Misalnya, sumbangan dari Kadie Baruta Sebagai bagian dari Wilayah Kesultanan Buton mempunyai kewajiban pajak sebesar :
- Jawana 5 Boka
- Jupandana 2 suku
- Kapalikiana 1 boka
- Wetimiana 6 orang
- Kalongana terdiri dari 10 ekor ayam, 10 biji kelapa tua, 10 biji kelapa muda, 10 tandang pisang, Bantena 30 berkas injelai dan 12 periuk kahoti masasa
- Sandatana 3 ikat padi dan 3 berkas injelai
Sumber: (Zahari, 1981: 159)
Sebagai bahan perbandingan penulis tampilkan Pajak Kadie Kamaru
- Jawana 3 Boka dan 8 uwa
- Jupandana 4 ketip
- Kapalikiana 8 ketip
- Wetimiana 10 orang
- Kalongana terdiri dari 6 ekor ayam, 6 biji kelapa, 6 batang tebu, 6 tandang pisang, 40 keranjang beras
- Sandatana 3 keranjang beras
Sumber : (Zahari, 1981: 158)
PULANGA
Pulanga artinya hak atas suatu kadie, dimana sebagai “kepalanya“ wajib diangkat dari keturunan bangsawan khusus dan tidak dibenarkan menurut adat apabila diangkat mereka yang bukan keturunannya. Dan terdapatlah di dalam kerajaan “Pulanga-pulanga“:
- Negeri Kamaru adalah pulanga dari La Balawo Sultan Ke 5
- Negeri-negeri Kalende dan Lawele adalah pulanga dari Wa Ode Tumpu dan Gogoli Mbela-mbela
- Negeri Baruta adalah pulanga dari Gogoli Liwuto La Cila Sultan Buton ke 8
- Negeri-negeri Bombonawulu dan Tumada adalah Pulanga dari La Awu Sultan ke-9
Sumber (Zahari, 1977: 415)
Ketentuan-Ketentuan Tentang Pertanahan Menurut adat.
Menurut adat, rakyat berhak atas tanah diwilayah kesultanan Buton, khususnya di Kadie dimana ia bermukim, apabila berpindah ke Kadie lain untuk berkebun dll. Maka ia wajib membayar sewa tanah kepada Syara Kadie yang bersangkutan. Sewa tanah tersebut adalah dalam bentuk bagi hasil dengan perbandingan 1: 12 yaitu 1/12 dari hasil perkebunan diserahkan kepada Syara Kadie. Bagi Kaomu dan Walaka yang berkebun di kadie-kadie tidak membayar sewa tanah akan tetapi jika kebun ditinggalkan maka kebun dan isinya menjadi milik Syara Kadie yang bersangkutan. Contoh ini pernah terjadi di tanah Baruta, bahwa Lakina Lea-lea pernah berkebun di di kawasan hutan (ponue) Baruta.Setelah selesai masa panen, maka seluruh hak tanah kembali ke kadie.
Apabila terjadi sengketa tanah di kadie, harus diselesaikan oleh Syara Kadie yang disaksikan oleh Bobato (hakim) yang bertugas di Kadie yang bersangkutan. Jika Syara Kadie tidak dapat menyelesaikannya maka barulah diserahkan kepada Dewan Kesultanan (Syara Wolio).
Menurut adat, ketentuan-ketentuan tanah dalam wilayah Kesultanan Buton adalah sebagai berikut:
- Tanah Turakia
- Tanah Katampai
- Tanah Pekuburan
- Tanah Dalam Benteng Keraton
- Tanah Bebas
- Tanah Kaombo
(sumber: Zahari, 1977)
- Tanah Turakia adalah tanah hanya hak pakai atas izin oleh Dewan Kesultanan (Syara) untuk membangun rumah atau berkebu, tidak boleh diperjual belikan karena bukan hak milik. Jika ditinggalkan dapat diserahkan kepada ahli warisnya sepanjang belum diperlukan oleh Syara Kesultanan. Tanah Turakia adalah milik kesultanan dan yang berhak mendapatkan tanah tersebut hanya Kaomu dan Walaka.
- Tanah Katampai adalah tanah yang dihadiahkan oleh Syara Kesultanan Buton kepada orang-orang yang berjasa dalam pembangunan Kesultanan Buton sebagai hak milik, misalnya: Tanah Katampai Wa Ode Wau yaitu tanah yang dihadiahkan oleh Syara kesultanan kepada Wa Ode Wau sebagai hak milik karena jasanya dalam pembangunan benteng keraton Buton. Pemberi hadiah tersebut dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Buton VI LA BUKE (Sultan Gafurul wadhudhu) 1632–1645. Tanah Katampai Wa Ode Wau tersebut terletak sekitar 7 km dari kota Bau-Bau ke arah Pasar Wajo. Tanah Katampai Bontona Gundu-Gundu (Mancuana La Balawo) tanah tersebut terletak dalam Kelurahan Katobengke (Lipu), Wajo dan Lamangga karena jasanya dalam mematahkan perlawanan musuh kesultanan. Tanah Katampai Mancuana la Balawo diberikan pada masa pemerintahan Sultan Buton XII La Tumpamana (Sultan Zainuddin) pada tahun 1650–1683. Tanah Katampai Bontona La Ompo (La Garuda) yaitu sebidang tanah yang terletak disebelah selatan Benteng Keraton, karena jasanya menghalau bajak laut diteluk Pasar Wajo. Pemberian tanah tersebut dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Buton IX La Awu (Sultan Malik Sirullah) pada tahun 1654–1664. Tanah Mojina Kalau (Abdullah) karena jasanya dalam mengalahkan musuh dengan menggunakan ilmu kebatinannya di masa pemerintahan Sultan Buton IV La Elangi (Sultan Dayanu Iksanuddin) pada tahun 1578–1615. Jasa lainnya adalah menyembuhkan penyakit putra Sultan Dayanu Iksanuddin (La Cila). Tanah Katampai Bontoogena Wantiro (La Saompula) karena jasa-jasanya dalam kesultanan dan diberikan pada masa pemerintahan Sultan Buton XII La Umati (Sultan Liguaddin Ismail) pada tahun 1689-1697. (sumber: Zahari, 1977)
- Tanah perkebunan terdiri atas: Tanah pekuburan umum Tanah pekuburan Turakia yaitu tanah pekuburan yang khusus bagi keluarga tertentu. Tanah pekuburan yang dianggap keramat seperti makam Sultan dan petinggi kesultanan (Makam Sangia Wam Bulu) di Baruta, Oputa Gogoli Iliwuto di Pulau Makassar, Mbale-Mbale di kepulauan Tiworo, Mojina Kalao dalam Benteng Keraton Buton, Maligana di kampung Motewe (Wakorumba) dll.
- Tanah dalam Benteng Keraton Buton Pada hakekatnya status tanah di dalam benteng keraton Buton adalah sama dengan tanah Turakia yaitu hanya hak pakai atas ijin Syara kesultanan, sewaktu-waktu tanah tersebut dapat diambil bila diperlukan oleh Syara kesultanan. Tanah pekuburan dalam benteng keraton Buton hanya untuk raja-raja, sultan-sultan dan petinggi-petinggi kesultanan dan orang-orang yang dianggap berjasa. Hak pakai untuk membangun rumah dalam benteng keraton Buton hanya kaula Kesultanan (Kaomu dan Walaka) atas ijin Kesultanan.
- Tanah Bebas Tanah bebas adalah tanah yang diluar Turakia dan Katampai dan pada umumnya terdapat di Kadie yang belum pernah diolah. Tanah yang sudah diolah disebut OME. Tanah Ome tidak bole diolah orang lain tanpa ijin pengolah terdahulu.
- Tanah Kaombo Tanah Kaombo adalah tanah keramat, tidak boleh dijadikan tanah pekuburan dsb. Tanah Kaombo dijaga dan dipelihara oleh Kadie-kadie.
(sumber: Zahari, 1977)
sbgi anak mudah baruta marilah sama2 kita menjaga dan melestarikan desa kita,dan yg lbih penting kita harus tahu asal-usul baruta kita tercinta ini
BalasHapusBetul kawan sesama baruta hrus saling merangkul perkuat tali persaudaraan kita dan bersama sama membangun baruta agar lebih maju
HapusSalam dari Lapandewa
BalasHapusHebat juga baruta sampai mengklaim tolandona bagian dari baruta..
BalasHapussalam dari kondowa
BalasHapusApakah tdk ada sejarah tentang Lakina Koroni? Dan siapa nama lakina
BalasHapuskoroni?